Biarpun Literasi Rendah, Tapi Komentarnya Paling Pedas (1)

Zaman sekarang, komentar pedas makin gampang ditemukan di mana-mana. Mulai dari kolom komentar video pendek, berita politik, sampai postingan random soal kucing pun bisa jadi ajang debat. Uniknya, komentar yang nyelekit itu sering kali datang dari orang-orang yang secara literasi masih rendah. Fenomena ini bikin banyak orang heran, tapi juga mikir ulang soal pentingnya edukasi dan etika digital.

Kamu pasti pernah nemu akun anonim yang komen galak banget, padahal isi unggahan aslinya cuma bahas hal santai. Kadang, bukan cuma kasar, tapi juga penuh informasi salah dan nyebarin hoaks. Dan sayangnya, komentar kayak gini malah sering dapet likes banyak. Jadi sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa orang dengan literasi rendah bisa jadi paling lantang?

Fenomena ini bukan sekadar soal sok pintar, tapi lebih dalam ke masalah pemahaman, kontrol emosi, dan ekosistem digital yang belum sehat. Yuk kita bahas bareng kenapa mereka yang literasinya masih rendah justru paling semangat komentar pedas di internet.

Literasi digital masih jadi PR besar

Nggak semua orang paham cara menyaring informasi. Di tengah banjir konten seperti sekarang, kemampuan membedakan mana fakta dan mana opini itu penting banget. Tapi sayangnya, masih banyak yang belum terbiasa berpikir kritis saat baca sesuatu.

Orang dengan literasi rendah cenderung percaya begitu saja pada judul bombastis atau potongan video tanpa konteks. Akibatnya, respons yang mereka kasih pun sering kali emosional dan terburu-buru. Komentar yang muncul jadi penuh emosi, bukan hasil pemahaman yang utuh.

Padahal kalau dipikir-pikir, literasi digital itu bukan hal ribet. Cuma perlu dibiasakan baca pelan-pelan, cek sumber, dan tahan jempol sebelum ngetik. Tapi memang, kalau dari awal udah nggak terbiasa baca dan berpikir kritis, susah juga buat mengubah cara berinteraksi di internet.

Baca Juga  Alih Fungsi Hutan di Banjarnegara

Emosi lebih cepat daripada logika

Emosi lebih cepat daripada logika (1)

Kebanyakan komentar pedas muncul dari reaksi spontan. Ada yang ngerasa tersinggung, ada yang baper, atau cuma ikut-ikutan tren. Emosi manusia, terutama yang belum terbiasa mengelola konflik, gampang banget meledak dalam bentuk komentar kasar.

Sayangnya, internet membuat segalanya terasa anonim. Orang merasa bebas bicara tanpa konsekuensi, padahal sebenarnya setiap ucapan tetap punya dampak. Komentar pedas bisa memicu konflik yang lebih luas, bahkan bikin orang lain merasa nggak aman di ruang digital.

Kalau seseorang sudah biasa merespons dengan emosi dalam kehidupan nyata, maka di dunia maya hal itu bisa jadi lebih parah. Tanpa ada yang langsung menegur atau mengingatkan, mereka merasa komentarnya sah-sah aja meski menyakitkan orang lain.

Merasa punya kuasa lewat komentar

Komentar bisa jadi semacam panggung. Orang-orang yang nggak punya banyak ruang untuk bersuara di kehidupan nyata, merasa bisa menunjukkan eksistensinya lewat komentar di internet. Semakin pedas, semakin merasa punya power.

Fenomena ini bisa terjadi karena orang ingin validasi. Kalau banyak orang kasih like ke komentarnya, mereka jadi ngerasa pendapatnya penting. Sayangnya, mereka bukannya kasih pandangan yang bermutu, malah milih buat nyerang, nyindir, bahkan nyebar fitnah.

Hal ini makin parah saat algoritma media sosial ikut mendukung komentar seperti itu. Sistem lebih suka interaksi tinggi, tanpa peduli apakah isinya positif atau negatif. Akhirnya, komentar paling pedas justru sering muncul di atas.

Pengalaman pribadi membentuk cara berkomentar

Pengalaman pribadi membentuk cara berkomentar (1)

Setiap orang membawa latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda. Seseorang yang pernah mengalami perlakuan tidak adil biasanya menyimpan luka lama, dan saat melihat konten tertentu, ia langsung merespons dengan komentar pedas karena rasa sakit itu belum sembuh sepenuhnya.

Baca Juga  Cara Ubah Dosa Jadi Saldo DANA

Mereka merasa harus bersuara sebagai bentuk pembelaan diri, meski caranya kurang tepat. Dalam konteks ini, komentar pedas bukan cuma soal literasi, tapi juga tentang luka dan trauma yang belum selesai. Dan ini sering kali nggak disadari, bahkan oleh si komentator sendiri.

Sebaliknya, orang yang terbiasa berdialog dengan tenang dan belajar dari pengalaman, cenderung lebih santai saat menanggapi sesuatu di internet. Mereka bisa memilah mana yang perlu ditanggapi serius, mana yang bisa dilewatkan saja.

Minimnya ruang untuk belajar beretika

Sayangnya, pembelajaran soal etika digital belum banyak ditemui. Di sekolah, pembahasan soal literasi media dan sikap online masih sangat minim. Di lingkungan sekitar pun, hal-hal semacam ini sering dianggap nggak penting.

Padahal, belajar sopan di dunia digital itu sama pentingnya kayak sopan di dunia nyata. Etika, empati, dan tanggung jawab harusnya jadi bagian dari budaya digital kita. Sayangnya, kalau dari kecil nggak dibiasakan, makin dewasa makin sulit berubah.

Di sinilah pentingnya edukasi publik. Banyak komunitas dan media lokal mulai bergerak mengisi celah ini. Salah satu contohnya adalah penyedia Jasa ketik dan print rumahan yang nggak cuma fokus usaha, tapi juga aktif bikin brosur atau pamflet edukasi tentang etika komunikasi. Ini bisa jadi contoh kecil yang punya dampak besar kalau dilakukan bareng-bareng.

Kebiasaan yang ditoleransi akhirnya dianggap biasa

Fenomena komentar pedas ini juga muncul karena sering ditoleransi. Saat seseorang komen kasar dan nggak ada yang menegur, dia akan terus merasa itu hal biasa. Bahkan kadang dibela, dianggap jujur atau berani mengkritik. Padahal, ada bedanya antara kritik dan nyinyir.

Kalau orang-orang terus pelihara budaya saling serang, mereka yang baru masuk dunia digital bakal nganggep hal itu wajar. Banyak yang ikut-ikutan karena takut ketinggalan atau dikira lemah. Dan akhirnya, komentar pedas jadi semacam budaya baru yang terus menular.

Baca Juga  Minta Maaf Terus, Emangnya Kita Salah Terus?

Salah satu contoh fenomena semacam ini bisa kamu lihat dalam ulasan tentang Budaya Telat. Hal yang awalnya kelihatan nggak penting lama-lama terasa biasa karena orang terus membiarkannya. Sama juga dengan komentar kasar, kalau banyak orang terus menoleransi, maka hal itu bakal berubah jadi kebiasaan.

Kesimpulan

Banyak orang masih mengira komentar pedas adalah bentuk kebebasan berekspresi, padahal kenyataannya lebih sering mencerminkan rendahnya literasi dan minimnya empati. Internet memang memberi ruang untuk bersuara, tapi bukan berarti bebas tanpa batas. Kita semua punya tanggung jawab atas kata-kata yang kita keluarkan, apalagi di ruang publik digital.

Dengan memahami latar belakang, emosi, dan pola pikir para komentator ini, kamu jadi bisa lebih bijak saat membaca komentar pedas. Bukan buat membenarkan, tapi biar kamu bisa menanggapi dengan tenang dan nggak ikut kebawa arus. Karena sejatinya, komentar yang paling kuat bukan yang paling keras, tapi yang paling berisi.

Mulai dari diri sendiri, yuk biasakan budaya komentar yang membangun. Edukasi bisa datang dari mana aja, bahkan dari hal sederhana seperti membaca pelan-pelan sebelum menanggapi. Jangan remehkan kekuatan satu kalimat yang baik. Siapa tahu, komentar kamu justru jadi inspirasi buat orang lain.

By agung

One thought on “Biarpun Literasi Rendah, Tapi Komentarnya Paling Pedas”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *