Beberapa tahun terakhir, geliat wisata edukatif mulai mengangkat nama Banjarnegara ke permukaan. Salah satu spot yang mencuri perhatian adalah Monumen Jenderal Soedirman Tapen. Banyak orang ngeh karena tempat ini sukses ngemas sejarah, edukasi, dan pemandangan alam dalam satu kawasan yang menarik. Pemerintah sibuk ngebangun monumen dan nambahin fasilitas wisata, tapi malah makin ngebiarin krisis lingkungan yang terus jadi-jadi.
Warga dan pelaku usaha terus menebangi pohon secara sembrono, tanpa pengawasan ketat dari otoritas. Akibatnya? Tanah longsor makin sering menerjang, sumber air bersih terus menyusut, dan petani cuma bisa panen sekali dalam setahun. Ironisnya, pemerintah sibuk membangun simbol sejarah di satu sisi, tapi malah membiarkan sisi lain kabupaten ini porak-poranda kayak bukan bagian dari rencana.
Hutan Hilang, Tanah Ambrol
Warga di Kecamatan Wanayasa dan Karangkobar setiap hari menghadapi realita hilangnya hutan. Mereka menyaksikan sekitar 4 juta meter kubik tanah menghilang tiap tahun karena erosi. Tanah subur yang seharusnya dipakai buat tanam sayur dan padi malah hanyut ke sungai. Akibatnya, lahan jadi tergenang lumpur dan sungai makin dangkal dari tahun ke tahun.
Para petani terus membuka lahan baru di area hutan untuk ditanami, sementara pihak Perhutani dan pemerintah daerah kelihatan setengah hati menangani masalah ini. Mereka nggak cukup cepat bertindak saat lahan hutan berubah jadi ladang sayur. Sayur mungkin bisa dijual cepat, tapi kerusakan alamnya nggak bisa dipulihin dalam semalam.
Krisis Air, Dari Pegunungan ke Pompa Tandon

Warga juga mulai kehilangan akses ke sumber air bersih. Banyak desa ngeluh karena sumur mereka mulai keruh dan debit air dari pegunungan makin seret. Di beberapa tempat, kandungan kimia bahkan udah mencemari air yang mereka pakai sehari-hari. Saat hujan deras datang, warga harus ngadepin banjir lumpur. Tapi saat musim kemarau, mereka terpaksa keliling bawa jerigen dan galon demi air bersih.
Di tengah situasi ini, pemerintah daerah terus mendorong proyek wisata baru. Mereka membuka lahan untuk spot selfie dan memperluas fasilitas pendukung, tapi nggak satupun dari mereka serius mikirin siapa yang bakal menjamin ketersediaan air bersih buat warga. Kita udah terlalu lama nganggep air bakal terus ada, padahal hutan yang ngasih air itu pelan-pelan hilang satu per satu.
Bencana Datang, Tapi Pemerintah Diam
Setiap kali longsor terjadi, masyarakat sering dengar narasi klise: “namanya juga bencana alam.” Padahal manusialah yang bikin lereng-lereng itu gundul dan rapuh. Banjarnegara udah berulang kali dihantam longsor, tapi pemerintah masih lambat banget dalam ngambil langkah nyata.
Para perambah hutan terus beraksi karena tahu minimnya pengawasan. Sementara itu, lembaga berwenang seperti Perhutani dan dinas lingkungan hidup terkesan cuek. Mereka tahu bahayanya, tapi lebih milih nunggu bencana baru gerak.
Pemerintah Daerah Sibuk Proyek, Lupa Akar Masalah

Pemerintah daerah terus fokus ngembangin destinasi wisata kekinian. Mereka bangun spot foto, renovasi monumen, dan buka lahan baru buat fasilitas. Tapi mereka lupa, tanpa alam yang kuat, semua itu cuma tunggu waktu buat runtuh.
Coba bandingkan dengan Perpustakaan Wijayakusuma Polresta Cilacap yang dibangun bukan cuma buat pamer bangunan, tapi bener-bener dijadikan ruang tumbuh buat publik. Banjarnegara harus bisa bikin simbol perlindungan lingkungan yang nyata, bukan sekadar bangunan megah yang kosong makna.
Solusi? Harus Dimulai Sekarang
Masalahnya jelas. Solusinya juga sebenarnya nggak ribet. Pemerintah dan masyarakat harus segera melakukan hal-hal ini.
- Menghentikan alih fungsi hutan sekarang juga dan menutup semua akses liar ke kawasan kritis.
- Menanam pohon di area yang gundul, dengan pemantauan ketat dan perawatan berkala.
- Melibatkan warga sekitar jadi penjaga hutan dan pelaksana konservasi.
- Melakukan audit penuh terhadap mata air dan sumber air bersih yang tersisa.
- Mengembangkan wisata berbasis lingkungan, bukan wisata asal cantik di kamera.
Penutup
Monumen dan wisata edukatif memang punya nilai penting. Tapi semua itu bakal percuma kalau tanah tempat monumen itu berdiri terus melemah dan air makin langka. Kita bisa bangun ratusan tempat healing, tapi kalau alamnya rusak, yang kita warisin cuma krisis dan bencana.
Sekarang waktunya jujur, kita nggak bisa terus pura-pura sibuk bangun proyek sambil tutup mata sama kerusakan alam. Banjarnegara bisa jadi contoh daerah yang progresif, kalau berani mulai dari sekarang.
[…] gini penting banget di tengah tren alih fungsi lahan yang merajalela. Sebagai perbandingan, di Banjarnegara banyak hutan yang digunduli buat kepentingan lain, yang akhirnya malah bikin longsor dan krisis air. Jadi pas ada tempat kayak […]